Biodata Guru ke-email : esmarceria@gmail.com dan konfirmasi ke 0813-21598003 Album Guru Majalengka didukung oleh Jamu Tradisional "Pak KUMIS" Coba Dulu Baru Komentar


Senin, 31 Oktober 2011

ER. Handari


         ER. Handari di Majalengka pada tanggal 4 maret 1958, ia tinggal di Perum Gunung Sari Indah kecamatan Kasokandel, kabupaten Majalengka bersama seorang istrinya yang bernama Yulianti dan kedua anak kembarnya yang bernama Komarano dan Komarani.
            Ia mengawali bidang studynya di SDN 1 jatisura, SMPN 1 Jatiwangi, STM Cirebon dan UPI Bandung. Ia pernah bekerja sebagai Guru SMAN 1 Depok, SMAN 1 Jatiwangi, dan sekarang Mengajar di SMAN 1 Leuwimunding, Organisasi yang pernah ia ikuti adalah PGRI dll, ia juga mengikuti pendidikan dan pelatihan Bidang fisika (PKG), Diklat fisika.*** 

Naskah/Foto :  Adi Mustofa   Editor : Endang Suhendar 

Kamis, 27 Oktober 2011

Puad Atma, S.Pd

Puad. S.Pd dilahirkan di Majalengka pada tanggal 20 Januari 196. Ia menyelesaikan bidang studinya di SDN 1 Paningkiran, SMPN 1 Ciwaringin Cirebon, SPG Ciwaringin Cirebon, IKIP Bandung, dan UST Yogyakarta. Ia pernah bekerja sebagai guru di SMPN 1 Cigasong, SMPN 2 Sumber Jaya, SMPN 3 Sumber Jaya dan sekarang menjadi guru di SMAN 1 Leuwimunding. Puad dilahirkan oleh seorang ibu yang bernama Hj. Sai Syah dan ayahnya yang bernama H. Atma. Ia mempunyai seorang istri yang bernama Ida Aidah dan 3 orang anak yang bernama Muhammad Firdaus, Ahmad Ghozali, Mohammad Dzaki Yuda Putra. Mereka tinggal di Desa Banjaran Rt 02 Rw 05 No 15, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka. Puad  pernah mengikuti Organisasi Pemuda Panca Marga sebagai ketua, Satria Nusantara sebagai ketua, Karang Taruna Sebagai ketua, PGRI sebagai bidang Advokasi. Ia juga mengikuti pendidikan dan pelatihan di Diklat Seni Budaya tingkat provinsi,  Diklat BPBK tingkat provinsi, Diklat Pembina OSIS tingkat provinsi, Diklat IMTA Seni Budaya tingkat provinsi, Diklat pengelola SLTP terbuka tingkat provinsi. 
Menurut Puad, hal-hal positif yang didapatkan dari Eskul Media Mandiri adalah bagus banyak inovasi dan kreatifitas banyak membidik suasana sekolah, dan objektifitas tinggi sekalipun mengundang pro dan kontra, kritikan dan saran untuk Eskul Media Mandiri adalah  harus lebih mandiri dan kreatif dalam memuat berita atau informasi yang dimuat, maka akan muncul jati diri kita dan mempunyai karateristik yang berbeda dengan orang lain. Sedangkan sarannya adalah terus berjuang ke pelosok desa, tidak hanya di ruang lingkup pendidikan saja agar Eskul Media Mandiri lebih eksis diakui keberadaannya. 

Selasa, 25 Oktober 2011

Arudji Sulaeman

Arudji Sulaeman lahir di Majalengka 14 Maret 1957. Menempuh pendidikan di SDN Burujulkulon, SMPN Prakarya Santi Asromo, dan SMAN 1 Jatiwangi. Ia menyelesaikan pendidikannya setamat dari Yasika Jurusan Matematika. Karir gurunya dimulai di SMPN 1 Bantarujeg sebagai guru Matematika dan dipindahtugaskan sebagai guru SMPN 1 Karamat Mulya Kuningan (1985-1988). Sejak tahun 1988, Arudji Sulaeman mengajar di SMPN 1 Jatiwangi.
Arudji Sulaeman beristrikan Ny. Iim Dasimah dan dikarunia beberapa anak yaitu Yusran Abdurahman, Maftuh Adnan, riri Ruyatunnisa, Naufal Alfarabi, Azhar Amali, dan Nizar al-Khobari*** 
(Naskah/Editor/Foto : Endang Suhendar) 

Selasa, 18 Oktober 2011

Fenomena Sekolah Grais dan Peningkatan Kualitas Pendidikan


Terdengar begitu lucu, memang sangat lucu. Kalau kita membaca kata “gratis” dalam frase “sekolah gratis” tertulis di spanduk dan terpampang di tembok bangunan SD/MI dan SMP/MTs . Masalahnya, bila mendengar kata gratis, kita akan beranalogi pada frase “parkir gratis” yang biasa kita baca di depan swalayan.  Konon,  di sisi lain  ada sebuah cita-cita besar untuk mendorong negeri ini ke arah peningkatan kualitas sumber daya manusianya yang pada hakikatnya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan. Lantas, rumus mana yang pantas digunakan dalam teori manajemen dikatakan bahwa tanpa dukungan dana maksimal akan diperoleh hasil yang maksimal pula?
Ini baru sebatas prolog,  Tuan-Tuan Pembaca. Lebih jauh akan semakin seru lagi kita bicara persoalan pendidikan di negeri yang dihuni manusia-manusia yang berwatak serba ingin gratisan ini. Nonton film gratis. Makan baso gratis. Naik angkot gratis. Kontrakan rumah gratis (Rumah mertua kale!). Sampai-sampai maunya sih menikah pun cari gratisan.

1.     Ini Tentang UN
Ada pihak yang beranggapan bahwa setiap menghadapi akhir tahun ajar, akan muncul macam makhluk yang begitu menakutkan, yang kehadirannya sangat mengerikan, menegangkan, tapi sekaligus menggelikan. Yang dimaksud adalah UN (baca = Ujian Nasional). Lantas siapa-siapa saja yang merasa ketakutan dengan kehadiran makhluk tersebut? Siswakah? Gurukah? Kepala Sekolahkah? Atau siapakah gerangan? Mari, kita telaah satu demi satu!
Bila jawaban atas pertanyaan tersebut adalah siswa. Benarkah? Tidak juga tuh! Kita berbicara realistis saja. Andaikan saja kita lakukan survei untuk mengetahui kebenaran bahwa siswalah yang  begitu ketakutan dan merasa ngeri menghadapi UN, yakinkan bahwa hasil survei tersebut akan sangat mencengangkan karena ternyata di pihak siswa dalam persentase yang cukup signifikan akan diperoleh  jawaban atas pertanyaan “Bagaimana perasaan Anda saat akan menghadapi UN?” jawabannya ringan saja, “Apa?! UN?! … Emang gue pikirin!”.
Bagaimana dengan guru? Bagi guru persoalan UN adalah hal yang biasa-biasa saja. Apa yang mesti dibuat ngeri atau tegang?  Apalagi bagi guru-guru PTT, yang sudah dibikin stress dengan menunggu honor bulanan dari sekolah yang tak kunjung cair, berhubung  dana BOS sedang macet, atau sengaja dibikin macet.
 Itu kan agenda rutin dalam kalender akademik. Siswa kelas akhir ( kelas VI atau kelas IX atau kelas XII), sudah barang tentu di akhir masa pendidikan setiap jenjang, ya mereka wajib mengikuti Ujian Akhir. Mengenai hasilnya, mau lulus semua, atau mau ada yang tidak lulusnya, pasti jawaban guru pun ringan, kurang lebih sama saja, “Emang gue pikirin!”
Nah, jadi siapa sebenarnya yang merasa bahwa UN adalah sesuatu yang mengerikan dan menegangkan? Pastikan bahwa semua pihak akan menggelengkan kepala sembari membukakan kedua telapak tangan  karena bingung dan bergumam , “Entahlah!”
Barangkali lebih jelasnya yang membuat kehadiran UN terasa begitu mengerikan dan menegangkan,  sekaligus menggelikan,  ilustrasinya seperti berikut.
Pagi itu para siswa kelas “akhir” sebagai peserta UN akan memasuki gerbang sekolah, mereka tercengang dengan kehadiran aparat kepolisian. Ada apa dengan “bapak-bapak berseragam” itu? Bahkan sebagian siswa laki-laki ada yang begitu miris, maklum mereka merasa bersalah pernah terlibat sebuah tawuran antarpelajar yang terjadi beberapa waktu lewat di sekitar terminal angkot. Tetapi mereka akhirnya merasa tenang juga setelah tahu dari penuturan SATPAM sekolah bahwa Bapak-Bapak Berseragam itu telah berada di sekolah meraka sejak kemarin siang, dalam rangka pengamanan soal UN. “Oohh! … Begitu tokh!”.
“Pengamanan Soal UN”. Ada apalagi dengan makna ungkapan itu? Pengamanan Saol, berarti ada indikasi bahwa soal itu akan ada yang mencuri, kan? Lantas siapa pula sang pencuri itu, yang begitu berani mau berbuat nekad mencuri soal UN? Siswakah? Gurukah? Kepala Sekolahkah? Penjaga sekolahkah? Atau semua dari mereka berkomplot jadi pencuri? Aduh, semakin bingung saja dengan keadaan ini!
Padahal yang namanya kegiatan ujian akhir, sejak lama pun sudah terjadi dan pernah dialami oleh semua orang yang pernah mengikuti proses belajar di sekolah. Boleh tanyakan kepada siapa saja, orang-orang sukses atau orang-orang yang merasa diri pernah sukses, sejak presiden, para menteri kabinet, para anggota legislatif, para gubernur, bupati, para akademisi perguruan tinggi yang gelarnya begitu berderet, konglomerat.  Pada masa doeloe, pernahkah terjadi ujian sekolah yang diawasi oleh aparat kepolisian? Lucu kan?
Inti persoalannya tak lain dan tak bukan bahwa urusan ujian di sekolah adalah ranahnya bapak dan ibu guru. Polisi? Mendiknas? Gubernur? Bupati? Kadisdik?  No way! buat semuanya. Berikan ruang yang cukup bagi pihak sekolah untuk berimprovisasi dan  bergerak leluasa sesuai peran dan fungsinya , yakni sebagai institusi pencetak manusia-manusia handal sebagaimana diamanatkan UUD No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Positive thinking sajalah bahwa guru di sekolah telah “siap” melaksanakan KTSP. Bahkan mereka selalu siap. Yakin bahwa mereka akan konsisten. Mereka sudah professional kok? Apalagi pendapatan mereka telah jauh di atas standar pendapatan PNS. Kan sudah ada tunjangan profesi!.
 Jangan campuradukkan pendidikan dengan politik praktis. Jangan sampai negeri yang konon kondisinya sudah sangat konyol ini, semakin diperkonyol oleh oknum-oknum aparat yang konyol. Percaya atau tidak, andaikan saja persoalan pendidikan masih tetap diintervensi oleh pihak dari luar ranah pendidikan, justru hasil yang didapat akan semakin tidak jelas wujudnya. Akan dibawa ke mana negeri ini?

2.    Sekolah Gratis Vs Kualitas Pendidikan
“Di sini diselenggarakan sekolah gratis.”  Tulisan ini terbaca di setiap bangunan es-de dan es-em-pe. Tertulis di spakduk yang ditempel di tembok sekolah. “Sekolah gratis”, ungkapan ini akan   beranalogi kepada ungkapan “Parkir gratis”, “Makan gratis”, “Nonton bioskop gratis”, dan sebagainya dan sebagainya yang serba gratis. Setiap orang berhak memberikan makna yang berbeda, makna baik atau pun makna buruk. Konotasi positif atau pun konotasi negatif. Yang jelas, jika kita menarik sebuah penafsiran, dikatakan suatu sekolah menyelenggarakan pendidikan gratis, artinya setiap  siswa masuk dan mendaftarkan ke suatu jenjang sekolah, baik es-de maupun es-em-pe sejak tahun pertama, tidak sesen pun orang tua siswa mengeluarkan biaya. Kenyataannya kan tidak seperti itu. Tetap saja, orangtua siswa masih direpotkan dengan segala tek tek bengek keuangan, buat baju seragamlah, buat alat tulislah, buat “LKS”, dan lain-lain.
Ternyata warga masyarakat pun masih banyak yang bergumam, “Katanya sekolah gratis! Eh, kenyataannya kita ini masih dibikin pusing oleh anak-anak. Gimana sih pemerentah ini?” Untungnya, di tengah-tengah  mereka tidak muncul oknum propokator. Dan mudah-mudahan tidak ada dan tidak akan terjadi. Kalau tokh ada dan terjadi, entahlah akan seperti apa kondisi negeri ini. Kacau! Benar-benar akan semakin kacau.
Namun demikian, ternyata di sisi lain,  di antara warga masyarakat masih banyak pula yang berpikir rasional. Dan mereka sangat memahami bahwa ongkos pendidikan itu ternyata begitu mahal bila merujuk kepada kualitas. Itulah sebabnya mengapa di setiap institusi sekolah masih ada dan dibutuhkan keberadaannya, apa yang disebut komite sekolah atau dewan sekolah atau yang dulu namanya BP3, atau yang dulu sekali namanya POMG. Hal ini membuktikan bahwa antara lembaga pendidikan dengan masyarakat bagaikan dua sisi mata uang yang satu dengan lainnya saling memberi makna. Artinya, semua pihak sepakat bahwa untuk menuju pendidikan yang berkualitas diperlukan “sharing” semua pihak, baik sekolah, pemerintah, maupun masyarakat.
Sebaiknya, pemberlakuan sekolah gratis itu tidak digeneralisasikan. Harus diberlakukan klasifikasi kelompok masyarakat berdasarkan tingkat sosial ekonominya. Sedikitnya dapat dibuat 4 kategori orangtua siswa yang menyekolahkan anaknya di suatu lembaga sekolah, ada kelas gratis total, kelas semigratis, kelas non-gratis, dan kelas donatur tetap. Ini baru namanya pendidikan yang futuristik. Pendidikan yang berwawasan jauh ke depan.
Sangatlah  jelas, bahwa pemberdayaan sekolah tidak akan terlepas dari peran dan dukungan masyarakat. Manajemen partisipatif harus tetap dijalankan oleh lembaga sekolah. Hidupkan kembali program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang pada dasarnya merupakan ruhnya kemajuan pendidikan, dan yang akan memberikan ruang yang cukup luas bagi pihak sekolah untuk melaksanakan otonomi sekolah. Seiring dengan itu maka ungkapan “Sekolah Gratis” tidak perlu diberlakukan lagi. Sebab, hal itu hanya merupakan upaya “pengkebirian” terhadap kemajuan pendidikan.
Sebagai bagian penutup dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang berkualitas akan turut mengantarkan  negeri ini untuk mengejar ketertinggalan dari negeri-negeri lain yang sudah jauh berada di depan. Lembaga sekolah harus diberi ruang yang cukup untuk  berimprovisasi dalam fungsi pendidikan. Pahami kembali oleh semua pihak tentang makna KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), bahwa sekolah memiliki otonomi penuh dalam pengeloalaan pendidikan. 
Pukul 7 malam itu, udara begitu dingin terasa, setelah seharian hujan turun merata di permukaan bumi Mumunggang. Di amben-amben warung Kang Cilam baru tampak Kang Dayat yang lagi asyik menikmati segelas teh manis sambil berulang-ulang menghisap sebatang Jarcoknya ditemani Si pemilik warung, Kang Cilam.
Kang, aku melu seneng karo Sampean. Ngrungu-ngrungu jarene si Ida, anake Sampean wis olih panggilan sing pete  garep “terbang” meng Sangudi. Bener tah beli?” Kang Dayat memulai obrolan.
Terus terang bae, sabenere sih kula kuh ora tega, Yat, duwe bocah wadon soke menggawe adoh


Jumat, 14 Oktober 2011

Mohammad Ali,S.Pd

Mohammad Ali lahir di Majalengka, 01 Maret 1968 dari ibunya  yang bernama Kulsum. Ia menempuh pendidikan dasar di SDN 1 Heuleut Kadipaten, SMPN 1 Kadipaten, dan menyelesaikan pendidikan menengah di SMAN 1 Dawuan sewaktu sekolah tersebut masih merupakan sekolah filial dari SMAN 1 Jatiwangi. Oleh karena memiliki kecerdasan yang di atas rata-rata, ia diterima kuliah di Universitas Padjadjaran Bandung di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (F-MIPA) dan dilanjutkan dengan menempuh pendidikan kejuruan di IKIP Malang untuk program Studi Matematika. 
Karir pertamanya dimulai di SMAN 1 Kupang sebagai guru Matematika selama 8 tahun. Selama menjadi guru, Mohammad Ali sering mengikuti beberapa kegiatan seminari di antaranya Seminar Pendidikan Matematika di IKIP Malang, Seminar Sehari Matematika MGMP Matematika Majalengka, dan Pengingkatan Kompetensi Pendidik MKPS Kabupaten Majalengka. 
Adapun penataran yang pernah diikutinya adalah Tutor Daerah sebagai peserta yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Depdikbud Jawa Barat, Diklat IMTAQ (Kanwil), dan IHT KISP yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Majalengka. 
Prestasi yang dicapai Mohammad Ali adalah Juara Lomba Karya Cipta Guru (LKG) dengan titel Menghitung Luas Bidang Tanah Bentuk Segi Banyak dengan Menggunakan Rumus Luas Segi Tiga pada tahun 1994 yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).***

Rabu, 05 Oktober 2011

Bioetanol dari Singkong

 
BIOETANOL DARI SINGKONG
Oleh : Hamid Kamar, S.Pd., M.Pd.

Siapa yang tidak mengenal singkong. Singkong, yang juga dikenal sebagai ketela pohon atau ubi kayu, adalah pohon tahunan tropika dan subtropika dari keluarga Euphorbiaceae. Umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran. Singkong merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida (HCN) yang bersifat racun (toksik) bagi manusia.
Umbi akar singkong banyak mengandung glukosa dan dapat dimakan mentah. Rasanya sedikit manis, ada pula yang pahit tergantung pada kandungan racun glukosida yang dapat membentuk asam sianida. Umbi yang rasanya manis menghasilkan paling sedikit 20 mg HCN per kilogram umbi akar yang masih segar, dan 50 kali lebih banyak pada umbi yang rasanya pahit. Pada jenis singkong yang manis, proses pemasakan sangat diperlukan untuk menurunkan kadar racunnya. Dari umbi ini dapat pula dibuat tepung tapioka.
Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung jenis asam amino berupa metionin. Metionin merupakan asam amino yang diperoleh dari hasil hidrolisis kasein dan termasuk asam amino esensial. Gugus metil dalam molekul  metionin dapat dipindahkan kepada gugus molekul senyawa lain. Dengan demikian metionin berfungsi sebagai donor gugus metil. Nama lain dari metionin adalah asam 2-amino-4-metiltiobutanoat  denganrumus CH3SCH2CH2CH(NH2)COOH. Metionin biasa disingkat dengan Met.
 http://kamuslemak.com/gambar/Metionin.jpg
Gambar 1. Rumus Struktur Metionin


Berikut klasifikasi Ilmiah dari Singkong :
Kerajaan (Kingdom)
Plantae
Divisi
Magnoliophyta
Kelas
Magnoliopsida
Ordo
Malpighiales
Famili
Euphorbiaceae
Upafamili
Crotonoideae
Bangsa
Manihoteae
Genus
Manihot
Spesies
M. esculenta
Nama Binomial
Manihot esculenta
Tabel 1. Klasifikasi Singkong
Singkong dapat dimasak dengan berbagai cara, singkong banyak digunakan pada berbagai macam masakan. Direbus untuk menggantikan kentang, dan pelengkap masakan. Tepung singkong dapat digunakan untuk mengganti tepung gandum, baik untuk pengidap alergi. Biasa digunakan di negara-negara seperti di Amerika Latin, Karibia, Tiongkok, Nigeria dan Eropa.
Selain diolah untuk dijadikan bahan makanan seperti kripik singkong, singkong juga dapat diolah menjadi bioetanol sebagai pengganti premium. Menurut Dr Ir Tatang H Soerawidjaja, dari Tcknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB), singkong salah satu sumber pati. Pati senyawa karbohidrat kompleks. Sebelum difermentasi, pati diubah menjadi glukosa, karbohidrat yang lebih sederhana. Untuk mengurai pati, perlu bantuan cendawan Aspergillus sp. Cendawan itu menghasilkan enzim alfamilase dan gliikoamilase yang berperan mengurai pati menjadi glukosa alias gula sederhana. Setelah menjadi gula, bam difermentasi menjadi etanol.
Lalu bagaimana cara mengolah singkong menjadi etanol? Berikut Langkah-langkah pembuatan bioetanol berbahan singkong yang diterapkan Tatang H Soerawidjaja. Pengolahan berikut ini berkapasitas 10 liter per hari.
1.    Kupas 125 kg singkong segar, semua jenis dapat dimanfaatkan. Bersihkan dan cacah berukuran kecil-kecil;
2.    Keringkan singkong yang telah dicacah hingga kadar air maksimal 16%. Persis singkong yang dikeringkan menjadi gaplek. Tujuannya agar lebih awet sehingga produsen dapat menyimpan sebagai cadangan bahan baku;
3.    Masukkan 25 kg gaplek ke dalam tangki stainless steel berkapasitas 120 liter, lalu tambahkan air hingga mencapai volume 100 liter. Panaskan gaplek hingga 100oC selama 0,5 jam. Aduk rebusan gaplek sampai menjadi bubur dan mengental;
4.    Dinginkan bubur gaplek, lalu masukkan ke dalam tangki sakarifikasi. Sakarifikasi adalah proses penguraian pati menjadi glukosa. Setelah dingin, masukkan cendawan Aspergillus yang akan memecah pati menjadi glukosa (merupakan enzim yang bertindak sebagai katalisator). Untuk menguraikan 100 liter bubur pati singkong. perlu 10 liter larutan cendawan Aspergillus atau 10% dari total bubur. Konsentrasi cendawan mencapai 100 juta sel/ml. Sebelum digunakan, Aspergillus dikuhurkan pada bubur gaplek yang telah dimasak tadi agar adaptif dengan sifat kimia bubur gaplek. Cendawan berkembang biak dan bekerja menguraikan pati menjadi glukosa;
5.    Dua jam kemudian, bubur gaplek berubah menjadi 2 lapisan: air dan endapan gula. Aduk kembali pati yang sudah menjadi gula itu, lalu masukkan ke dalam tangki fermentasi. Namun, sebelum difermentasi pastikan kadar gula larutan pati maksimal 17 - 18%. Itu adalah kadar gula maksimum yang disukai bakteri Saccharomyces untuk hidup dan bekerja mengurai gula menjadi alkohol. Jika kadar gula lebth tinggi, tambahkan air hingga mencapai kadar yang diinginkan. Bila sebaliknya, tambahkan larutan gula pasir agar mencapai kadar gula maksimum;
6     Tutup rapat tangki fermentasi untuk mencegah kontaminasi dan Saccharomyces bekerja mengurai glukosa lebih optimal. Fermentasi berlangsung anaerob alias tidak membutuhkan oksigen. Agar fermentasi optimal, jaga suhu pada kisaran antara 28 - 32oC dan kisaran pada pH 4,5 - 5,5;
7.    Setelah 2 - 3 hari, larutan pati berubah menjadi 3 lapisan. Lapisan terbawah berupa endapan protein. Di atasnya air, dan etanol. Hasil fermentasi itu disebut bir yang mengandung 6 -12% etanol;
8.    Sedot larutan etanol dengan selang plastik melalui kertas saring berukuran 1 mikron untuk menyaring endapan protein;
9.    Meski telah disaring, etanol masih bercampur dengan air. Untuk memisahkannya, lakukan destilasi atau penyulingan. Panaskan campuran air dan etanol pada suhu 78oC atau setara dengan titik didih etanol. Pada suhu itu etanol lebih dulu menguap ketimbang air yang bertitik didih 100°C. Uap etanol dialirkan melalui pipa yang terendam air sehingga terkondensasi dan kembali menjadi etanol cair;
10   Hasil penyulingan berupa 95% etanol dan tidak dapat larut dalam bensin. Agar larut, diperlukan etanol berkadar 99% atau disebut etanol kering. Oleh sebab itu, perlu didestilasi absorbent. Etanol 95% itu dipanaskan 100oC. Pada suhu ilu, etanol dan air menguap. Uap keduanya kemudian dilewatkan ke dalam pipa yang dindingnya berlapis zeolit atau pati. Zeolit akan menyerap kadar air tersisa hingga diperoleh etanol 99% yang siap dicampur dengan bensin. Sepuluh liter etanol 99%, membutuhkan 120 — 130 liter bir yang dihasilkan dari 25 kg gaplek.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Pembangunan Bangsa, Tantangan, dan Solusinya

Oleh : SUHENA (Guru SMPN 1 Ligung)


A.    Pendahuluan
Di era millennium III bangsa Indonesia masih terus membangun dan menata diri untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain yang telah berada jauh di depan. Sasaran utama pembangunan adalah terciptanya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang maju dalam suasana tenteram sejahtera lahir batin, dalam tatanan masyarakat, bangsa, dan negara berdasarkan Pancasila selaras dalam hubungan antarsesama manusia, manusia dengan masyarakatnya, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan Tuhannya.