Biodata Guru ke-email : esmarceria@gmail.com dan konfirmasi ke 0813-21598003 Album Guru Majalengka didukung oleh Jamu Tradisional "Pak KUMIS" Coba Dulu Baru Komentar


Selasa, 18 Oktober 2011

Fenomena Sekolah Grais dan Peningkatan Kualitas Pendidikan


Terdengar begitu lucu, memang sangat lucu. Kalau kita membaca kata “gratis” dalam frase “sekolah gratis” tertulis di spanduk dan terpampang di tembok bangunan SD/MI dan SMP/MTs . Masalahnya, bila mendengar kata gratis, kita akan beranalogi pada frase “parkir gratis” yang biasa kita baca di depan swalayan.  Konon,  di sisi lain  ada sebuah cita-cita besar untuk mendorong negeri ini ke arah peningkatan kualitas sumber daya manusianya yang pada hakikatnya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan. Lantas, rumus mana yang pantas digunakan dalam teori manajemen dikatakan bahwa tanpa dukungan dana maksimal akan diperoleh hasil yang maksimal pula?
Ini baru sebatas prolog,  Tuan-Tuan Pembaca. Lebih jauh akan semakin seru lagi kita bicara persoalan pendidikan di negeri yang dihuni manusia-manusia yang berwatak serba ingin gratisan ini. Nonton film gratis. Makan baso gratis. Naik angkot gratis. Kontrakan rumah gratis (Rumah mertua kale!). Sampai-sampai maunya sih menikah pun cari gratisan.

1.     Ini Tentang UN
Ada pihak yang beranggapan bahwa setiap menghadapi akhir tahun ajar, akan muncul macam makhluk yang begitu menakutkan, yang kehadirannya sangat mengerikan, menegangkan, tapi sekaligus menggelikan. Yang dimaksud adalah UN (baca = Ujian Nasional). Lantas siapa-siapa saja yang merasa ketakutan dengan kehadiran makhluk tersebut? Siswakah? Gurukah? Kepala Sekolahkah? Atau siapakah gerangan? Mari, kita telaah satu demi satu!
Bila jawaban atas pertanyaan tersebut adalah siswa. Benarkah? Tidak juga tuh! Kita berbicara realistis saja. Andaikan saja kita lakukan survei untuk mengetahui kebenaran bahwa siswalah yang  begitu ketakutan dan merasa ngeri menghadapi UN, yakinkan bahwa hasil survei tersebut akan sangat mencengangkan karena ternyata di pihak siswa dalam persentase yang cukup signifikan akan diperoleh  jawaban atas pertanyaan “Bagaimana perasaan Anda saat akan menghadapi UN?” jawabannya ringan saja, “Apa?! UN?! … Emang gue pikirin!”.
Bagaimana dengan guru? Bagi guru persoalan UN adalah hal yang biasa-biasa saja. Apa yang mesti dibuat ngeri atau tegang?  Apalagi bagi guru-guru PTT, yang sudah dibikin stress dengan menunggu honor bulanan dari sekolah yang tak kunjung cair, berhubung  dana BOS sedang macet, atau sengaja dibikin macet.
 Itu kan agenda rutin dalam kalender akademik. Siswa kelas akhir ( kelas VI atau kelas IX atau kelas XII), sudah barang tentu di akhir masa pendidikan setiap jenjang, ya mereka wajib mengikuti Ujian Akhir. Mengenai hasilnya, mau lulus semua, atau mau ada yang tidak lulusnya, pasti jawaban guru pun ringan, kurang lebih sama saja, “Emang gue pikirin!”
Nah, jadi siapa sebenarnya yang merasa bahwa UN adalah sesuatu yang mengerikan dan menegangkan? Pastikan bahwa semua pihak akan menggelengkan kepala sembari membukakan kedua telapak tangan  karena bingung dan bergumam , “Entahlah!”
Barangkali lebih jelasnya yang membuat kehadiran UN terasa begitu mengerikan dan menegangkan,  sekaligus menggelikan,  ilustrasinya seperti berikut.
Pagi itu para siswa kelas “akhir” sebagai peserta UN akan memasuki gerbang sekolah, mereka tercengang dengan kehadiran aparat kepolisian. Ada apa dengan “bapak-bapak berseragam” itu? Bahkan sebagian siswa laki-laki ada yang begitu miris, maklum mereka merasa bersalah pernah terlibat sebuah tawuran antarpelajar yang terjadi beberapa waktu lewat di sekitar terminal angkot. Tetapi mereka akhirnya merasa tenang juga setelah tahu dari penuturan SATPAM sekolah bahwa Bapak-Bapak Berseragam itu telah berada di sekolah meraka sejak kemarin siang, dalam rangka pengamanan soal UN. “Oohh! … Begitu tokh!”.
“Pengamanan Soal UN”. Ada apalagi dengan makna ungkapan itu? Pengamanan Saol, berarti ada indikasi bahwa soal itu akan ada yang mencuri, kan? Lantas siapa pula sang pencuri itu, yang begitu berani mau berbuat nekad mencuri soal UN? Siswakah? Gurukah? Kepala Sekolahkah? Penjaga sekolahkah? Atau semua dari mereka berkomplot jadi pencuri? Aduh, semakin bingung saja dengan keadaan ini!
Padahal yang namanya kegiatan ujian akhir, sejak lama pun sudah terjadi dan pernah dialami oleh semua orang yang pernah mengikuti proses belajar di sekolah. Boleh tanyakan kepada siapa saja, orang-orang sukses atau orang-orang yang merasa diri pernah sukses, sejak presiden, para menteri kabinet, para anggota legislatif, para gubernur, bupati, para akademisi perguruan tinggi yang gelarnya begitu berderet, konglomerat.  Pada masa doeloe, pernahkah terjadi ujian sekolah yang diawasi oleh aparat kepolisian? Lucu kan?
Inti persoalannya tak lain dan tak bukan bahwa urusan ujian di sekolah adalah ranahnya bapak dan ibu guru. Polisi? Mendiknas? Gubernur? Bupati? Kadisdik?  No way! buat semuanya. Berikan ruang yang cukup bagi pihak sekolah untuk berimprovisasi dan  bergerak leluasa sesuai peran dan fungsinya , yakni sebagai institusi pencetak manusia-manusia handal sebagaimana diamanatkan UUD No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Positive thinking sajalah bahwa guru di sekolah telah “siap” melaksanakan KTSP. Bahkan mereka selalu siap. Yakin bahwa mereka akan konsisten. Mereka sudah professional kok? Apalagi pendapatan mereka telah jauh di atas standar pendapatan PNS. Kan sudah ada tunjangan profesi!.
 Jangan campuradukkan pendidikan dengan politik praktis. Jangan sampai negeri yang konon kondisinya sudah sangat konyol ini, semakin diperkonyol oleh oknum-oknum aparat yang konyol. Percaya atau tidak, andaikan saja persoalan pendidikan masih tetap diintervensi oleh pihak dari luar ranah pendidikan, justru hasil yang didapat akan semakin tidak jelas wujudnya. Akan dibawa ke mana negeri ini?

2.    Sekolah Gratis Vs Kualitas Pendidikan
“Di sini diselenggarakan sekolah gratis.”  Tulisan ini terbaca di setiap bangunan es-de dan es-em-pe. Tertulis di spakduk yang ditempel di tembok sekolah. “Sekolah gratis”, ungkapan ini akan   beranalogi kepada ungkapan “Parkir gratis”, “Makan gratis”, “Nonton bioskop gratis”, dan sebagainya dan sebagainya yang serba gratis. Setiap orang berhak memberikan makna yang berbeda, makna baik atau pun makna buruk. Konotasi positif atau pun konotasi negatif. Yang jelas, jika kita menarik sebuah penafsiran, dikatakan suatu sekolah menyelenggarakan pendidikan gratis, artinya setiap  siswa masuk dan mendaftarkan ke suatu jenjang sekolah, baik es-de maupun es-em-pe sejak tahun pertama, tidak sesen pun orang tua siswa mengeluarkan biaya. Kenyataannya kan tidak seperti itu. Tetap saja, orangtua siswa masih direpotkan dengan segala tek tek bengek keuangan, buat baju seragamlah, buat alat tulislah, buat “LKS”, dan lain-lain.
Ternyata warga masyarakat pun masih banyak yang bergumam, “Katanya sekolah gratis! Eh, kenyataannya kita ini masih dibikin pusing oleh anak-anak. Gimana sih pemerentah ini?” Untungnya, di tengah-tengah  mereka tidak muncul oknum propokator. Dan mudah-mudahan tidak ada dan tidak akan terjadi. Kalau tokh ada dan terjadi, entahlah akan seperti apa kondisi negeri ini. Kacau! Benar-benar akan semakin kacau.
Namun demikian, ternyata di sisi lain,  di antara warga masyarakat masih banyak pula yang berpikir rasional. Dan mereka sangat memahami bahwa ongkos pendidikan itu ternyata begitu mahal bila merujuk kepada kualitas. Itulah sebabnya mengapa di setiap institusi sekolah masih ada dan dibutuhkan keberadaannya, apa yang disebut komite sekolah atau dewan sekolah atau yang dulu namanya BP3, atau yang dulu sekali namanya POMG. Hal ini membuktikan bahwa antara lembaga pendidikan dengan masyarakat bagaikan dua sisi mata uang yang satu dengan lainnya saling memberi makna. Artinya, semua pihak sepakat bahwa untuk menuju pendidikan yang berkualitas diperlukan “sharing” semua pihak, baik sekolah, pemerintah, maupun masyarakat.
Sebaiknya, pemberlakuan sekolah gratis itu tidak digeneralisasikan. Harus diberlakukan klasifikasi kelompok masyarakat berdasarkan tingkat sosial ekonominya. Sedikitnya dapat dibuat 4 kategori orangtua siswa yang menyekolahkan anaknya di suatu lembaga sekolah, ada kelas gratis total, kelas semigratis, kelas non-gratis, dan kelas donatur tetap. Ini baru namanya pendidikan yang futuristik. Pendidikan yang berwawasan jauh ke depan.
Sangatlah  jelas, bahwa pemberdayaan sekolah tidak akan terlepas dari peran dan dukungan masyarakat. Manajemen partisipatif harus tetap dijalankan oleh lembaga sekolah. Hidupkan kembali program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang pada dasarnya merupakan ruhnya kemajuan pendidikan, dan yang akan memberikan ruang yang cukup luas bagi pihak sekolah untuk melaksanakan otonomi sekolah. Seiring dengan itu maka ungkapan “Sekolah Gratis” tidak perlu diberlakukan lagi. Sebab, hal itu hanya merupakan upaya “pengkebirian” terhadap kemajuan pendidikan.
Sebagai bagian penutup dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang berkualitas akan turut mengantarkan  negeri ini untuk mengejar ketertinggalan dari negeri-negeri lain yang sudah jauh berada di depan. Lembaga sekolah harus diberi ruang yang cukup untuk  berimprovisasi dalam fungsi pendidikan. Pahami kembali oleh semua pihak tentang makna KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), bahwa sekolah memiliki otonomi penuh dalam pengeloalaan pendidikan. 
Pukul 7 malam itu, udara begitu dingin terasa, setelah seharian hujan turun merata di permukaan bumi Mumunggang. Di amben-amben warung Kang Cilam baru tampak Kang Dayat yang lagi asyik menikmati segelas teh manis sambil berulang-ulang menghisap sebatang Jarcoknya ditemani Si pemilik warung, Kang Cilam.
Kang, aku melu seneng karo Sampean. Ngrungu-ngrungu jarene si Ida, anake Sampean wis olih panggilan sing pete  garep “terbang” meng Sangudi. Bener tah beli?” Kang Dayat memulai obrolan.
Terus terang bae, sabenere sih kula kuh ora tega, Yat, duwe bocah wadon soke menggawe adoh


Tidak ada komentar:

Posting Komentar